Moralika.com
Beranda Editorial Polemik DBS III dan Wajah Buram Tata Kelola Daerah

Polemik DBS III dan Wajah Buram Tata Kelola Daerah

PENULIS: Ahmad Khairuddin (Moralika)

Oleh: Ahmad Khairuddin*

Ngoceh, moralika.com – Sudah hampir setengah tahun, Kapal Motor Penumpang Darma Bahari Sumekar (KMP DBS) III milik Pemkab Sumenep mangkrak begitu saja. Kondisi ini jadi potret buram kegagalan PT. Sumekar, perusahaan daerah yang seharusnya bertanggung jawab penuh mengelola kapal tersebut.

Sebagai perusahaan milik publik, PT. Sumekar mestinya dikelola dengan prinsip good governance—transparan, akuntabel, efisien, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: pelayanan buruk, manajemen tertutup, dan tak ada pertanggungjawaban soal anggaran. Lebih parah lagi, Pemkab Sumenep sebagai pemilik saham mayoritas malah terkesan tutup mata terhadap persoalan ini.

Mengacu pada literatur tata kelola publik, good governance merupakan fondasi utama dalam penyelenggaraan pelayanan yang berkualitas. Sebagaimana didefinisikan The United Nations Development Programme (UNDP), good governance adalah sistem terbaik untuk pengelolaan sebuah kekuasaan.

Sistem good governance ini berlaku untuk berbagai hal, mulai dari bidang ekonomi, politik, maupun administratif, seluruhnya harus bermuara pada kepentingan masyarakat. Mengenai penerapannya, harus bisa menjunjung tinggi prinsip partisipasi, keterbukaan, keadilan, efisiensi, dan akuntabilitas. Sebab hal demikian menjadi tolok ukur utama untuk menentukan tingkat keberhasilan pelayanan.

Aturan di Indonesia juga jelas. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 344 ayat (1), menegaskan BUMD wajib dikelola profesional dan transparan demi mendorong ekonomi daerah sekaligus meningkatkan pelayanan publik. Kemudian dalam Pasal 339 mengatur, bahwa kepala daerah memiliki peran dan tanggung jawab untuk mengawasi pengelolaan BUMD.

Mengacu terhadap regulasi yang ada, maka persoalan mandeknya KMP DBS III sejatinya bukan sekadar disebabkan lalainya PT Sumekar dalam mengelola bisnis perusahaan. Namun di samping itu, juga makin dibuat parah dengan lemahnya sistem pengawasan dari kepala daerah.

Regulasi lain, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 3 mengatur lebih tegas. Pengelolaan keuangan negara, termasuk oleh BUMD, harus tertib, efisien, transparan, dan akuntabel.

Meskipun begitu, tampaknya peraturan perundang-undangan yang ada tidak pernah diperhatikan. Buktinya, proyek DBS III mangkrak tanpa penjelasan sama sekali ke muka publik. Bahkan laporan keuangan, progres fisik, kendala hukum dan teknis yang dialami perusahaan pelat itu pun tidak disampaikan secara transparan.

Padahal, keberadaan KMP DBS III memiliki peran penting sebagai media transportasi penghubung antara wilayah kepulauan dengan daratan. Apalagi, infrastruktur serupa di Kabupaten Sumenep memang sangat terbatas bahkan masih tertinggal.

Mangkraknya kapal ini telah merugikan masyarakat, terutama secara ekonomi maupun sosial. Sementara itu, dana APBD yang berupa penyertaan modal terus mengalir untuk PT Sumekar. Sedangkan hal demikian sekadar berujung pada pada beban pemerintah, tanpa memberikan hasil yang dapat dibanggakan.

Pemkab Sumenep hari ini tidak hanya gagal menjalankan prinsip good governance, tapi juga abai terhadap amanat regulasi. Bupati sebagai kepala daerah dan pengawas tertinggi BUMD, terkesan kehilangan kepekaan politik dan etika publik.

Janji pembangunan dan pelayanan transportasi laut yang pernah disampaikan oleh Bupati Sumenep, hanya berujung pada retorika semata. Padahal, ini bukan sekadar masalah proyek gagal, tapi juga menjadi bukti pengkhianatan terhadap mandat publik.

Sudah saatnya Pemkab Sumenep melakukan reformasi struktural dalam tubuh PT Sumekar. Membuka akses informasi kepada publik secara transparan dan akuntabel, serta melibatkan pengawasan yang independen. Masalah KMP DBS III yang tak kunjung beroperasi sampai sekarang, harus segera diatasi. Karena hal demikian terikat erat dengan aktivitas perekonomian masyarakat kepulauan.

Berbagai pengelolaan aset pemerintah yang terbengkalai, sangat penting untuk secepatnya dilakukan evaluasi. Begitu pula terkait penyertaan modal untuk BUMD yang dianggap tidak progresif, sebainya dilakukan efisiensi. Patut disadari, mandeknya pengoperasian KMP DBS III kini makin menambah daftar kegagalan program Pemerintah Kabupaten Sumenep yang berdampak pada krisisnya kepercayaan masyarakat. Masalah ini harus diperhatikan secara serius. (*)

 

*Penulis adalah pemuda kelahiran Desa Sawah Sumur, Kecamatan Arjasa, Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep. Saat ini sedang menjalani studi S1 di Universitas Wiraraja, Sumenep. Aktif di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sekaligus menjabat Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Kangean Sumenep (IMKS).

Join WhatsApp channel moralika.com agar tidak ketinggalan berita terbaru lainnya.

Gabung
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan