Maaf Tabrani, Kami Tak Becus Jaga Perjuanganmu - Moralika.com
Moralika.com
BAPPEDA
STKIP
BKPSDM
Yazid
BPRS
Beranda Editorial Maaf Tabrani, Kami Tak Becus Jaga Perjuanganmu

Maaf Tabrani, Kami Tak Becus Jaga Perjuanganmu

ILUSTRASI: Seorang pemuda mengibarkan bendera Indonesia. (Moralika/Tajunasional)

“Setiap tahun, kita merayakan Sumpah Pemuda dengan gegap gempita. Bendera dikibarkan, pidato digelar, dan slogan nasionalisme kembali menghiasi ruang publik. Namun di tengah semangat itu, kita sering abai pada satu hal yang sejatinya menjadi ruh dari Sumpah Pemuda: bahasa”

 

Beberapa waktu lalu, saya sempat menyinggung polemik kecil tentang penulisan “Dirgahayu ke-80 RI” atau “Dirgahayu RI ke-80.” Sekilas memang tampak sepele, hanya soal tata bahasa. Tapi justru di situlah letak persoalannya.

Kita kerap menganggap remeh Bahasa Indonesia, padahal ia adalah penanda peradaban, pengikat identitas dan simbol persatuan yang diikrarkan para pemuda 97 tahun silam.

Bait terakhir Sumpah Pemuda berbunyi tegas: “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Kalimat ini bukan sekadar formalitas upacara, melainkan kesadaran historis bahwa bangsa tanpa bahasa bersama hanyalah kumpulan manusia tanpa arah.

Bahasa Indonesia lahir dari semangat untuk menyatukan, bukan semata alat komunikasi. Bahkan, juga menjadi jembatan yang memungkinkan perbedaan bersuara dalam satu nada.

Ironisnya, di era digital hari ini, kita justru semakin longgar terhadap kaidah bahasa sendiri. Kesalahan ejaan dianggap wajar, pencampuran bahasa asing dianggap keren dan kekeliruan berulang tidak lagi dikoreksi. Kita bangga mengenakan batik dan menyanyikan lagu perjuangan, tapi sering lalai menjaga substansi yang menopang rasa kebangsaan: bahasa kita sendiri.

Peringatan Sumpah Pemuda seharusnya menjadi momentum refleksi, sejauh mana kita masih menjunjung bahasa persatuan? Apakah bahasa Indonesia kini masih menjadi bahasa kebanggaan, atau hanya sekadar alat formal dalam dokumen resmi dan teks pidato kenegaraan?

Menjaga bahasa bukanlah tugas guru bahasa semata. Ia adalah tanggung jawab setiap warga negara yang mencintai tanah airnya. Sebab bangsa yang kehilangan rasa hormat terhadap bahasanya, lambat laun juga kehilangan jati dirinya.

Maka ditengah seruan bahwa pemuda harus berperan, mari kita mulai dari hal yang paling sederhana “menulis dan berbicara dengan benar.” Sebab dari bahasa yang tertata, lahir pula bangsa yang beradab.

Namun, pertanyaan penting yang sering terabaikan adalah: Sebagai warga Madura, apakah kita benar-benar mengenal sosok penggagas Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional? Siapakah Tabrani Soerjowitjirto?

Nama ini hampir tak pernah muncul dalam pelajaran sekolah, jarang disebut dalam buku sejarah dan nyaris tak dikenal generasi muda. Padahal, Tabrani – lah yang pertama kali mengusulkan istilah Bahasa Indonesia pada Kongres Pemuda I tahun 1926, dua tahun sebelum Sumpah Pemuda diikrarkan.

Sayangnya, banyak guru, bahkan akademisi, tidak mengenalnya. Ketidaktahuan ini sering dianggap “bukan masalah.” Padahal, justru di situlah akar persoalan kita, melupakan bahasa berarti melupakan sejarah kelahirannya.

Bahasa adalah identitas paling vital di antara seluruh unsur kebudayaan. Kuliner bisa diambil, kita masih bisa menyebut diri orang Indonesia. Tari dan pertunjukan bisa ditiru, kita masih bisa berkata itu bagian dari warisan. Tapi jika bahasa kita diabaikan atau diakui bangsa lain, maka hilanglah penanda yang membuat kita satu.

Bahasa Indonesia bukan sekadar alat bicara, ia adalah napas kebangsaan. Jika napas itu kian melemah, maka sesungguhnya yang sedang sekarat bukan hanya bahasa kita, tapi kesadaran kita sebagai bangsa yang pernah berjanji menjunjungnya. (*)

Join WhatsApp channel moralika.com agar tidak ketinggalan berita terbaru lainnya.

Gabung
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan