Petani Rubaru yang Menggantung Hidup di Batang Sayur - Moralika.com
Moralika.com
Beranda Berita Petani Rubaru yang Menggantung Hidup di Batang Sayur

Petani Rubaru yang Menggantung Hidup di Batang Sayur

EKONOMI: Warga berjualan sayur di Pasar Banasare, Kecamatan Rubaru, Sumenep. (Moh. Busri/Moralika)

“Manusia tak bisa menentukan nasibnya sendiri. Begitu pula dengan rezeki yang hendak dimiliki. Semua itu, ada pada kuasa Tuhan yang akan memberi. Sedangkan manusia, diperintah untuk berusaha dan jangan sekadar berdiam diri”

IQBAL FUADI HASBUNA, Sumenep, Moralika.com

Suasana perkampungan di Desa Pakondang, Kecamatan Rubaru, Kabupaten Sumenep tampak sunyi. Pukul setengah dua dini hari, Sabtu 11 Oktober 2025, udara di sana cukup gigil dan menusuk ke pori-pori kulit. Sesekali, suara kendaraan terdengar melintas di jalan raya.

Sumiyati, petani berusia 51 tahun di desa setempat terlihat sibuk menyiapkan hasil panen yang dipetiknya dari ladang sore tadi. Tiap tengah malam, dia rutin terjaga dari tidur untuk menyambung hidup esok pagi.

Sementara, rumah-rumah sekitar masih tampak gelap. Itu menandakan tetangga sedang nyenyak menikmati mimpi dalam lelap. Maklum, aktivitas petani memang cukup berat dan melarat. Sehingga, malam yang panjang menjadi waktu cukup untuk beristirahat.

Tiap pagi, Sumiyati pergi ke ladang, merawat tanaman sayur miliknya ibarat mengasuh buah hati. Setelah sore, hasil panen dikumpulkan dan dibawa pulang.

Waktu petang tak membuatnya berhenti beraktivitas. Hasil panen sore tadi mulai dikemas untuk dibawa ke pasar. Sumiyati tak sendiri, dia dibantu suaminya, Tola’i, sosok pria tangguh yang usianya sudah tak muda lagi, 55 tahun.

Usia menjelang senja tentu membuat tenaga sepasang suami istri itu sudah tidak seprima dulu. Beruntung, mereka memiliki seorang anak perempuan yang selalu membantunya, Siti Nur Khatijah, 22 tahun.

Tiap setengah sepuluh malam, lampu-lampu di teras rumah warga mulai padam. Semua beristirahat total untuk menenangkan sendi letih usai beraktivitas penuh seharian, sekaligus mengumpulkan tenaga untuk kembali bertani esok hari.

Namun, waktu istirahat Sumiyati tak panjang. Dia harus bangun tepat tengah malam. Menyiapkan hasil panen yang dipetik dari ladang dan hasil panen yang dibelinya dari petani lain untuk dibawa ke pasar.

Dua sepeda motor dinyalakan, bermacam sayuran siap dibawa ke pasar desa sebelah yang jaraknya sekitar satu kilometer. Warga biasa menyebutnya Pasar Karang Tengah atau Pasar Banasare, sebab lokasinya berada di Desa Banasare.

Pasar tersebut menjadi salah satu pusat perputaran ekonomi bagi petani di Kecamatan Rubaru. Meskipun pasar tradisional ini tidak besar, namun cukup diminati. Petani dari berbagai desa lain, seperti Matanair, Tambak Sari dan Mandala, selalu membawa hasil panen ke pasar tersebut.

Sebenarnya, hasil panen yang dibawa ke Pasar Banasare, tidak dijual langsung kepada konsumen. Melainkan, dijual ke tengkulak untuk dibawa ke Pasar Anom Kabupaten Sumenep atau bahkan ke Pasar Prenduan, Kecamatan Pragaan.

“Hasil panen, memang harus diantarkan lebih awal ke pasar, sebelum tengkulak datang,” kata Sumiyati.

Dia menuturkan, aktivitas jual beli hasil panen petani di Pasar Banasare tidak lama. Sekali tengkulak datang, maka langsung diborong. Jika terlambat, hasil panen tersebut sulit terjual dan bahkan tidak laku.

“Kalau tawarannya terlalu murah, biasanya dibawa pulang untuk dijual esok malam,” tambahnya.

Sayuran hasil panen petani yang dijual ke Pasar Banasare variatif. Salah satunya seperti sawi, kangkung, cabai, timun, dan bawang daun. Komoditas serupa, menjadi sumber penghasilan utama bagi petani di Kecamatan Rubaru.

Itu pun dibenarkan oleh petani asal Desa Mandala, Supati. Perempuan paruh baya tersebut juga menjual sayuran. Menurutnya, mayoritas petani di desanya tidak menjual hasil panen kepada pedagang atau bahkan tengkulak.

“Petani di kampung saya mandiri, hasil panen langsung dijual ke konsumen sampai habis,” katanya dengan wajah sumringah yang tersorot lampu pasar.

Kebanyakan petani, lanjut Supati, hanya bergantung hidup pada keuntungan jualan hasil panen. Padahal, harga sayuran di pasar tidak tentu mahal. Sehingga, saat anjlok, petani pun mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan belanja sehari-hari.

“Kadang untungnya tipis, apalagi kalau musim panen bersamaan, harga bisa langsung anjlok,” pungkasnya. (*/bus)

Join WhatsApp channel moralika.com agar tidak ketinggalan berita terbaru lainnya.

Gabung
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan