Nurani Jurnalisme Tak Layak Dijual - Moralika.com
Moralika.com
Beranda Ngoceh Nurani Jurnalisme Tak Layak Dijual

Nurani Jurnalisme Tak Layak Dijual

ILUSTRASI: Seseorang sedang membaca berita di salah satu koran. (Moralika/Pixels)

“Saya memilih menjadi jurnalis. Pilihan ini bukan sekadar tentang karier, tapi sikap batin yang lahir dari kegelisahan panjang. Profesi jurnalis, tentu tidak hanya soal bisa dan siap menulis, meliput, atau berjibaku dengan deadline. Justru saya menikmati dan mencintai itu semua”

 

Namun di masa kiwari seperti sekarang, legitimasi terhadap jurnalis mulai bergeser. Saya selalu berpikir, bahwa jurnalis dengan tugas dan karyanya, harus bisa menjadi penyampai wahyu kebenaran. Tapi nyatanya, banyak sekali yang makin berlomba merebut jatah pengumuman tentang pencitraan para penguasa.

Suatu ketika, saya pernah dihadapkan pada situasi yang pelik. Meski tak merasakan sendiri – hanya mendengarkan cerita dari kawan – tapi seolah saya juga dibuat resah dengan persoalannya.

Dapur redaksi media hari ini, sebagian mulai melupakan ketentuan rukun jurnalisme. Batasan pagar api antara karya jurnalistik murni dengan advertorial sudah dianggap tak lagi penting. Bahkan tidak jarang untuk menemukan jurnalis yang meliput berita umum sekaligus menawarkan iklan. Anggapannya, tak ada iklan maka tak hidup. Miris.

Cerita dari kawan, dia pernah menulis berita tentang kebobrokan pemerintah. Alih-alih disambut baik oleh redaksi, sebaliknya malah diminta mencari sisi baiknya. Ketika ada kritik dari publik, dia pun diminta agar meredam, bukan menggali.

Bagi saya, itu bukan lagi jurnalisme. Melainkan semacam sandiwara: media massa sebagai panggung dan wartawan sebagai penulis naskah bayaran.

Sontak saya teringat ucapan Bill Kovach dalam The Elements of Journalism: “Journalism’s first obligation is to the truth. Its first loyalty is to the citizens.”

Tapi di beberapa ruang redaksi, kini loyalitas itu mulai terasa kabur. Seolah jurnalis tidak lagi bekerja untuk masyarakat, tapi untuk menjaga citra lembaga, mengamankan relasi politik dan mempertahankan akses untuk memperoleh jatah anggaran pemerintah.

Saya pun mulai sadar, kondisi ini bukan hanya persoalan etika, tapi juga kesejahteraan. Banyak jurnalis yang hidup dalam bayang-bayang gaji yang tak cukup. Status kerja yang tak jelas, bahkan harus ‘nombok utang’ untuk biaya liputan.

Kondisi seperti ini, rentan sekali bagi jurnalis untuk menggadaikan idealisme. Tidak heran jika kawan senasib saya mulai kompromi pada penguasa. Saya kira, itu bukan karena mereka sama sekali tak tahu – mana yang benar, mana yang salah – tapi karena ingin bertahan hidup. Ingin makan. Ingin menyekolahkan anak. Lantas, siapa yang harus disalahkan?

Sementara itu, Andreas Harsono dalam bukunya “Agama Saya Adalah Jurnalisme” pernah mengatakan, bahwa jurnalisme yang bebas dan independen hanya bisa tumbuh bila jurnalisnya sejahtera. Saya menyaksikan sendiri betapa benar kata-kata itu.

Ketika jurnalis tidak sejahtera, mereka mudah ditekan, dibeli, bahkan dimanfaatkan. Berawal dari itu, produk perusahaan media menjadi kepanjangan tangan untuk kepentingan penguasa. Patut disadari, bangsa ini sudah mulai kehilangan alat kontrol paling penting dalam demokrasi (jurnalis dan medianya).

Semoga saja saya bisa tetap waras. Menjadi jurnalis yang bekerja bukan karena takut kehilangan gaji, tapi karena dorongan nurani untuk tetap berada pada garis penyampai kebenaran.

Jurnalisme harus tetap dijaga dan dirawat kesuciannya. Menyampaikan kebenaran suara publik dengan merdeka dan profesional; bukan lantas memoles kepentingan penguasa dengan sebuah narasi pembenaran.

Saya tahu ini bukan jalan yang mudah. Tapi semua ini sangat layak diperjuangkan. Karena jurnalisme tanpa integritas, bukan hanya buruk, tapi berbahaya. Nurani jurnalisme tak layak dijual, apalagi pada penguasa. (*/bus)

Join WhatsApp channel moralika.com agar tidak ketinggalan berita terbaru lainnya.

Gabung
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan