Ruang Gelap di Lorong Sempit Disdik Sumenep - Moralika.com
Moralika.com
Beranda Daerah Ruang Gelap di Lorong Sempit Disdik Sumenep

Ruang Gelap di Lorong Sempit Disdik Sumenep

ILUSTRASI: Siswa sedang belajar di dalam kelas. (Moralika/Pixels)

“Tiba-tiba saja, tanpa angin, tanpa hujan, sebuah kabar seperti petir di langit cerah menghantam telinga saya. Katanya, saya berada di balik proyek seragam dinas pendidikan senilai Rp 3 Miliar”

Awalnya saya pikir, ini sekadar guyon politik. Bumbu kecil di ruang tunggu rapat. Tapi rupanya tidak!

Seorang kolega di Komisi IV, sambil setengah bercanda, menyebut kabar itu dengan nada menggoda: “Katanya ente yang main di proyek seragam SD, Bro.”

Saya tertawa, tentu saja. Tapi di balik tawa itu ada rasa heran, juga geli. Sebab, saya tahu persis, logika tuduhan itu seaneh logika hujan dari tanah.

Ketua Komisi IV DPRD Sumenep, Mulyadi, yang biasanya ringan dalam humor dan santai dalam pembicaraan, kali ini terlihat agak serius.

Mulyadi mengulang kabar yang didengarnya: bahwa seorang Kabid SD di Dinas Pendidikan bernama Ardiansyah, dalam sebuah forum, menyebut saya “bermain proyek seragam SD”.

Begitu saja menggelinding. Tanpa data, tanpa bukti, hanya kabar yang mengalir seperti gosip di warung kopi. Tapi lalu diangkat menjadi tuduhan.

Saya bukan orang yang suka berpolemik, apalagi mengadu argumentasi di ruang publik tanpa dasar. Tapi sebagai anggota DPRD, saya berhak menjaga maruah lembaga dan nama baik pribadi.

Tuduhan itu bukan saja ngawur, tapi juga berbahaya — sebab dilontarkan oleh pejabat. Pejabat publik yang seharusnya paham etika bicara dan tanggung jawab moral.

Saya ini anggota Komisi III. Domain saya bidang pembangunan. Lalu tiba-tiba disebut ikut mengatur proyek di Dinas Pendidikan — yang jelas menjadi wilayah Komisi IV. Bukankah itu seperti menuduh pemain bola pindah lapangan tanpa ganti seragam?

Lebih lucu lagi, sumber tuduhan kabarnya hanya karena “bahasanya media”. Entah media mana, entah kalimat apa.

Era ketika tafsir lebih cepat dari fakta seperti sekarang dan bisik-bisik lebih nyaring dari klarifikasi, kita seolah lupa bahwa fitnah paling sering lahir dari ruang kosong. Ruang yang tak diisi oleh keberanian untuk memeriksa kebenaran.

Kita tahu, di balik cerita ini ada wajah lama birokrasi yang alergi diawasi. Setiap kali ada anggota DPRD yang bertanya, dianggap mengatur. Setiap kali mengkritik, dianggap bermain.

Padahal yang seharusnya diawasi bukan niat pengawasan. Tapi justru perilaku pejabat yang menutupi informasi publik.

Saya mendengar pula, sang Kabid dikenal dekat dengan Kepala Dinas, Agus Dwi Saputra. Tentu kedekatan itu bukan dosa. Tapi jika kedekatan membuat seseorang mudah menyebar kabar tanpa pikir panjang, maka yang tercemar bukan hanya nama orang. Tapi juga kredibilitas institusi tempat ia berdiri.

Saya tidak ingin memperpanjang soal ini. Tapi, ada yang lebih mengkhawatirkan dari sekadar tuduhan: yaitu menurunnya mutu rasionalitas di kalangan pejabat publik.

Kita makin sering berpikir dengan rasa, bukan dengan nalar; bereaksi dengan dugaan, bukan dengan data. Ardiansyah ini tamsilnya.

Satu hal yang pasti, fitnah sering kali berawal dari hal kecil — dari bisik yang tak dikoreksi, dari prasangka yang dibiarkan tumbuh. Saya percaya, waktu pada akhirnya akan menyingkap siapa yang bermain dan siapa yang hanya dijadikan bahan permainan.

Sebenarnya langit Sumenep cerah di luar gedung itu. Tapi di dalam, saya belajar satu hal: kadang yang paling menggelegar bukan petir di langit. Melainkan suara yang lahir dari ruang tanpa logika.

Tunggu saja petir itu akan memantul dalam gelap. Ardiansyah rasa-rasanya perlu dibawa ke ruang gelap itu. Maybe. (*)

Join WhatsApp channel moralika.com agar tidak ketinggalan berita terbaru lainnya.

Gabung
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan